Wasi Zada

BiNusian weblog

Dampak RBT (Ring Back Tone) Bagi Keberlangsungan Industri Musik Tanah Air

April2

Author Note

This review based on an article by Ted Carlin Ph.D. “Digital Audio.” On Communication Technology Updates And Fundamentals. Eleventh Edition. Oxford:  Elsevier, 2008, pg. 206-228 and a book by Mirabito, Michael and Morgenstern, Barbara L. The New Communications Technologies: Applications, Policy, And Impact. Fifth Edition. Oxford: Elsevier, 2004.

Correspondence concerning this review should be addressed to Wasi Zada, Department of Marketing Communication, Bina Nusantara University, Class 04 PHO, Jalan Anggrek Cakra.

ABSTRACT

Persebaran dan perkembangan audio digital di Indonesia mengalami perubahan dalam hal distribusi, hukum, dan juga maraknya masalah yang terjadi yaitu masalah hak cipta dan pembajakan. Perusahaan rekaman Indonesia dihadapi oleh tantangan untuk mengatasi perubahan gaya hidup konsumen di era digital dalam menikmati dan membeli musik. Era digital dalam industri musik ini tentu tidak terhindarkan. Karena itu pola industri musik pun akan berubah. Hutan belantara baru Ring Back Tone (RBT) dan full track download menjadi juru selamat bagi industri musik Indonesia saat ini. Ring Back Tone menjadi sandaran para label serta musisi karena praktis hanya RBT ini yang tidak bisa dibajak. Setidaknya untuk sementara ini.

INTRODUCTION

Permasalahan Copyright di Indonesia

Music is like water, music is for free (Leonhard, 2006).

Revolusi media dan dinamikanya membuat paradigma orang-orang di dalamnya pun berubah. Munculnya iPod, di mana sebuah produk dapat saling ditukar secara peer-to-peer mengubah semua pola dan paradigma dalam berbisnis. Download lagu gratis, copy atau share lagu dari teman, dan perilaku lain yang melanggar hak cipta terasa jamak dan tidak tabu lagi terjadi saat ini. Musik digital merupakan masalah yang serius: semua orang menggunakannya, hanya sedikit yang membayarnya, dan hanya Apple yang sukses membisniskannya.

Berdasarkan laporan Federasi Industri Rekaman Dunia IFPI, pada 2009 Indonesia masuk 10 besar negara pembajak musik. Salah satu penyebabnya, pemberantasan pembajakan yang tak serius. Kenyataan ini telah mematikan industri CD (Compact Disc) di Indonesia dan dikhawatirkan dapat membunuh industri musik kreatif di Tanah Air. Dalam sisi penegakkan hukum, masalah pembajakan musik masih sangat dilawan di Indonesia, namun hasil akhirnya selalu tidak maksimal. Selalu ada kepentingan lain yang bermain, sehingga tindak lanjut terhadap pembajakan tidak maksimal. Hal ini disebabkan oleh sistem kultural, politik, dan ekonomi yang tidak sejalan sehingga akhirnya membuat jalan buntu dalam memberantas pembajakan di Indonesia.

Kampanye pemasaran musik yang dilakukan berbasis digital dengan konsep ring back tone (RBT) yang ditawarkan oleh para operator seluler dapat menjadi alternatif solusi. RBT menjadi bagian dari bisnis yang menggiurkan dan aplikasi yang tak tergantikan. Perkembangannya terus meningkat dan semakin meluas mengikuti penyebaran jaringan ponsel. Kehadiran RBT bukan hanya menguntungkan bagi operator, tapi juga mampu menjadi sumber pemasukan baru bagi pihak label musik, terutama di tengah maraknya pembajakan.

METHOD

Metode penelitian yang saya gunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pengumpulan data yang saya kumpulkan merupakan data sekunder yakni data tidak langsung yang saya peroleh dari menelusuri studi kepustakaan, studi dokumentasi, sumber berita dan sumber internet.

ANALYSIS AND DISCUSSION

Free Lunch Method

Free lunch method adalah metode pemasaran dengan menyiapkan musik secara legal dalam bentuk digital dan diberikan atau dapat diunduh gratis kepada penikmat musik atau menggunakan jejaring sosial sebagai media utama atau dipasarkan melalui Internet (Bisnis Indonesia, 1 Des 2010). Dengan metode ini, orang Indonesia dapat memiliki audio digital dari mana saja dengan mengunduhnya secara legal, seperti membeli melalui iTunes, situs artis/ perusahaan rekaman, dan mendownload RBT. Namun yang seringkali terjadi adalah kebalikannya yaitu dengan membeli musik secara ilegal seperti membeli cd bajakan, filesharing, P2P, dll.

Dengan adanya free lunch method, mengunduh lagu digital tidak akan lagi menimbulkan kerugian bagi musisi dan perusahaan musik melainkan memberikan keuntungan bagi keduanya. Namun, bentuk metode ini mengakibatkan penjualan kaset, compact disc, dan vinyl pun merosot jatuh. Menurut data perusahaan rekaman, Sony BMG, pada 1996 jumlah penjualan kaset musik di Indonesia mencapai 77,5 juta unit. 10 tahun berikutnya, tinggal 20 juta unit. Data lain menyebutkan, pada 2008 tidak ada satu pun musisi yang bisa mencetak penjualan hingga 1 juta keping cakram atau kaset. Tahun lalu, total penjualan kaset dan cakram musik tak menyentuh 1 juta keping.

Sedangkan menurut catatan dari ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia), pada tahun 2008 hanya terjual 10 juta keping album, sementara tahun 2007 tercatat 19,4 juta dan 2006 sebesar 23,7 juta. Sementara tahun 2009-2010 terjadi penurunan sampai 15 persen. Di sisi lain, angka pembajakan menurut data ASIRI sejak tahun 2008 telah mencapai 96%. Ratusan toko kaset dan CD di Indonesia telah tutup selama dua tahun ini. Sedangkan label rekaman kini tinggal 15 perusahaan besar, dari 240 perusahaan yang terdaftar di ASIRI.

Hasil data di atas membuktikan perubahan yang terjadi pada budaya masyarakat yang terus berubah ke dalam budaya yang semakin modern, masyarakat akan semakin digital dari waktu ke waktu dan meninggalkan budaya analog. Dengan budaya masyarakat yang senang berbagi dan kurang menghargai proses, pembajakan akan selalu menjadi masalah laten di Indonesia. Bisnis yang ditawarkan RBT sepatutnya bisa mengantisipasi perilaku masyarakat Indonesia yang tidak ingin rugi.

Ring Back Tone (RBT)

Awalnya, keberadaan RBT lebih ditujukan untuk memberikan jati diri kepada para pelanggan melalui jenis lagu yang dipilih. Konsep ring back tone (RBT) yang ditawarkan oleh para operator seluler pada mulanya dinilai sebagai sesuatu yang aneh. Bagaimana tidak, kita membeli lagu dengan berlangganan hanya untuk diperdengarkan kepada orang lain.  Tapi, pada perkembangannya RBT justru mampu memberikan kontribusi besar bagi pendapatan operator di luar voice dan SMS. Konsep RBT yang awalnya hanya memberikan hiburan bagi orang yang menelepon, kini telah berkembang lebih jauh menjadi sarana promosi dan marketing.

Dari data yang dimiliki Asosiasi Rekaman Idonesia (Asiri) pada akhir 2009, diperkirakan 20 persen dari 170 juta pelanggan seluler di Indonesia menggunakan RBT. Dari jumlah tersebut, sekitar 2 juta di antaranya terus aktif berlangganan RBT setiap bulannya dengan konsumen terbesar berasal dari generasi muda.

Bagi para operator, kontribusi pemasukan dari RBT, divisi value added service (VAS, atau layanan nilai tambah), berkisar antara empat hingga lima persen dari total pendapatan perusahaan per tahun. Jumlah tersebut akan terus membesar seiring dengan tren meningkatnya penggunaan konten di ponsel. Industri RBT pun mengalami peningkatan, baik dari segi jumlah ketersediaan lagu, layanan, harga yang semakin terjangkau, hingga inovasi yang ditawarkan (Republika, 2 Mar 2010).

Terus meningkatnya perkembangan RBT bukan hanya menguntungkan pihak operator, tapi juga berdampak besar bagi keberlangsungan industri musik di Tanah Air. Pemasukan dari RBT pun mampu menjadi sumber pendapatan baru bagi para label musik yang sebelumnya terhempas karena maraknya pembajakan.

Namun di sisi lain, konsep RBT menimbulkan masalah regulasi seperti pembagian hak cipta dan struktur bisnis. Belum adanya standar yang jelas pada pembagian hak bagi musisi, di samping masalah transparansi, membuat RBT memarginalkan sisi musisi itu sendiri. RBT sebenarnya hanya menguntungkan pihak label dan operator, namun tidak bagi musisinya. Karenanya, diperlukan perlindungan hukum bagi para musisi sehingga kreatifitas mereka bisa dihargai secara layak.

Industri musik di Indonesia merupakan salah satu urat nadi industri kreatif bangsa ini. Perlindungan hukum bagi musisi dan sosialisasi tentang hukum bagi pelaku industrinya merupakan kebutuhan yang sangat mendesak agar industri ini dapat tetap hidup dan terus menghasilkan karya-karya yang original dan berkualitas.

CONCLUSION

Kondisi Indonesia dalam hal distribusi, hak cipta, dan hukum persebaran audio digital berbeda dengan negara-negara lain. Masalah-masalahnya yang rumit, yang selalu berkaitan dengan sistem ekonomi, kultural, dan politik di Indonesia membuat perubahan pola konsumsi masyarakat dalam menikmati musik semakin berubah. Saat ini, RBT merupakan bisnis yang menguntungkan perusahaan-perusahaan rekaman di Indonesia. RBT membuat orang untuk membeli musik dengan caranya yang mudah dan inovatif. Saya berharap dengan adanya konsep baru RBT, tingkat pembajakan di Indonesia dapat berkurang dan masyarakat dapat lebih mengapresiasi nilai kreatifitas dan originilitas musisi Indonesia.

BIBLIOGRAPHY

Primary Texts:

Carlin, Ted, Ph.D. “Digital Audio.” On Grant, August and Meadows, Jennifer. Communication Technology Updates And Fundamentals. Eleventh Edition. Oxford: Elsevier, 2008, pg. 206-228.

Mirabito, Michael and Morgenstern, Barbara L. The New Communications Technologies: Applications, Policy, And Impact. Fifth Edition. Oxford: Elsevier, 2004.

References:

Yunianto, Roni. “Musik Digital Bisa Tekan Pembajakan.” On Bisnis Indonesia, 1 December 2010. Jakarta.

Khoirul. “RBT Bisnis Yang Menjanjikan.” On Republika, 2 March 2010. Jakarta.

Internet Websites:

Kris. “Perlindungan Hukum Dan Matinya Industri Musik Indonesia.” Jdih.bphn.go.id. 2010. 27 August 2010.

< http://jdih.bphn.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=84&Itemid=18>

Ronny, Andreas. “RBT Dan Pembajakan Karya Musik.” Kbr68h.com. 2011. 18 March 2011.

<http://www.kbr68h.com/feature/saga/3789-rbt-dan-pembajakan-karya-musik>

Email will not be published

Website example

Your Comment: